Pic by James Sutton |
Aku jatuh cinta dengan engkau yang pandai melihat karena mata kau ada empat.
Hari itu kau lihat penjahat yang mangkir. Lihat dia berubah jadi penjilat yang mahir. Lalu opini kau yang berjilid-jilid seperti ensiklopedia mulai kau bacakan. Di sela-selanya terselip omong kosong waktu-waktu ku bisa bernapas. Lalu seperti jemu kalau tak sibuk, mata kau yang ada dua pasang itu mulai melirik ke utara, ke selatan, lalu ke timur dan ke barat. Kau lihat apa lagi, kau cerita apa lagi.
Semakin panjang saja volume buku-buku opinimu. Lagi-lagi ku buatkan kau lemari untuk menaruh bongkahan kertas-kertas itu. Beberapa ku ambil dan ku tumpuk jadi meja. Lalu tahun berikutnya, ku kumpulkan dan ku jadikan tangga. Kini kamar kau dan aku ada di ujungnya seperti kastil di atas bukit. Kau bisa melihat semakin jauh, semakin luas... Dan aku janji ganti tembok dengan buku-buku kau.
Satu malam, saat langit berawan dan bulan tertutup sinarnya, diantara esai bola dan naskah politik kau, aku curi sepasang mata kau. Ku sembunyikan dibalik tumpukan sajak Aan Mansyur. Biar bapak itu yang menjaganya. Mata kau yang kini tinggal dua menatap ke depan ke arahku. Kau bilang kau tak bisa melihat. Lalu ku kecup pelupuk matamu, kiri dan kanan. Mereka tertutup dan terus tertutup saat ku mengecup alismu yang berkerut. Saat bibirmu bergerak, dan satu cerita mulai tertulis, ku kecup bibir kau. Aku tak ingin buku tentangku. Ku kecup bibirmu sampai jemari kau bergetar. Sampai mata kau terbuka dan tajam tatapan kau pada ku.
Diatas buku-buku terbuka dan selimut kata-kata kau akhirnya berhenti membaca. Mulai merasa sampai a-b-c berserakan di lantai, lebih dalam sampai kertas bercoret menjadi bersih, sampai lebur huruf-huruf jadi tanda seru. Aku tak ingin titik dan kau berikan koma. Lalu kita berasteriks sampai tanda pagar melompat-lompat, kurung terbuka dan menutup, dan a pun berkeong. Jilid demi jilid kau janji ganti buku dengan tempat tidur.
***
Lalu apa jadinya dengan mata kau yang sepasang itu. Yang disimpan oleh tangan penuh garis milik penulis puisi tua. Mata itu bergerak, melihat ke utara, ke selatan, lalu ke timur dan ke barat. Lalu ia berhenti, ia berhenti menatap kita. Berdua di atas kasur kapuk yang sederhana, terlindung diantara tumpukan bata dan semen, yang tergoda oleh hangat tubuh kekasihnya.
Mungkin kakek itu akan meminjam mata kau. Dan ia akan menulis sajak-sajak biadab tentang kita, tentang sepasang binatang kepanasan di tengah musim kawin. Puisi itu akan dibacakan di pernikahan kita di mana para undangan akan serempak tersedak duri ikan mas. Ibuku akan pingsan dan Ayah kau akan menggeplak kepala kau. Kakek itu akan tertawa, sampai copot dua bola mata pinjamannya.
Secepat kilat kau dan aku akan berlari keluar. Tertawa kita masuk burung biru yang menerbangkan kita ke kastil kecil diujung bukit bertangga buku, tempat aku mencuri mata kau. Ku kembalikan, pertemukan lagi kedua pasang mata jadi empat. Mereka akan melihat ke utara, ke selatan, lalu ke timur dan ke barat. Bibir kau akan bercerita dan aku takkan mengecupnya. Kembali buku-buku tebal akan bertumpukan. Jilid demi jilid. Jadi lantai, jadi tembok, jadi pigura foto pernikahan kita. Tapi nanti malam, saat langit berawan dan bulan tertutup sinarnya, kau gadaikan buku-buku itu dan ganti jadi tempat tidur.