Hari ini seorang penulis jatuh cinta dengan seorang pujangga. Sang pujangga makan dari torehan luka hatinya. Sedangkan penulis hidup dari imajinasi akan cinta dalam komedi manis.
Setiap kali keduanya membaca, yang satu tersakiti sementara yang lain tertolak. Entah untuk berapa lama, keduanya hanya diam takut menjadi bahan karangan di kemudian hari.
Pena-pena pun bersikeras mengeringkan tiap tetesan tinta darah kehidupan mereka. Walau itu artinya akhir dari nafas mereka, namun demi bertemunya Si Penulis dan Sang Pujangga, relalah mereka terbuang ke tong sampah. Berharap kedua pemilik mereka akan bertemu di toko pena, saling menatap dan akhirnya memberanikan diri untuk menyapa.
Tapi di toko pena, Si Penulis hanya menatap sengit Sang Pujangga. Walau hatinya berdetak keras, dan pipinya merekah merah secerah senja di langit hari itu, tapi Si Penulis mempertahankan egonya dengan mendengus tanpa membalas senyuman Sang Pujangga yang berusaha menarik perhatiannya.
Keduanya pun pulang dengan tulisan-tulisan baru. Tentang rasa yang harus dilupakan, dan cinta yang jadi bahan celaan.
PS: Ditulis tanpa berenang dalam perasaan. Agar membantu Si Penulis untuk tetap tenang walau sebenarnya ingin menulis kisah pembunuhan pada perasaan-perasaan yang tak pada tempatnya. Cih.