Monday, December 30, 2013

Dua Puluh Lima Tahun

Rintikan hujan malam ini sukses membuatku mengingat dirimu. Inilah melodi favoritmu yang ingin kau dengar saat memejam mata, sampai membuka mata lagi. Dari semua pria yang kukenal, cuma kamu yang mahir mendramatisasi hidupmu sendiri, plus dengan penuh bangga menceritakan imajinasi-imajinasi tak penting tersebut kepadaku. Termaksud impianmu untuk terlelap di tempat tidur berkelambu, atau menari waltz di stasiun kereta tua, juga meminum cappucinno sambil mengenakan kimono sutra dan memandang matahari terbenam. Ya, semua bayangan sentimentil itu.

Tawamu yang rusuh terdengar dari ujung sofa. Entah sudah berapa lama kamu tak mengenggam tanganku hangat. Masihkah kau ingat, malam natal saat kita terjebak diluar rumah tanpa kunci? Salju sudah menebal menutup betis, dan kamu memutuskan untuk menggiring aku ke tengah jalan raya yang kosong. Setidaknya, mesin pengeruk es baru saja menipiskan lapisan salju, hingga jalanan bisa lagi dilalui mobil-mobil. Pukul dua dini hari, kita berjalan melawan kantuk, ditemani kuning temaram lampu jalanan yang dipantulkan halus oleh salju. Kau membuka sarung tanganku perlahan, lalu menarik tangan kiriku masuk kedalam saku kanan mantelmu. "Lebih hangat, kan?" tatapan lembutmu membuat pipiku merona seketika. Kau mengencangkan genggaman tanganmu dalam saku, lalu mengaitkan panas ke setiap ujung-ujung jariku. "Hmm.." adalah satu-satunya balasan yang bisa aku keluarkan. Ah, waktu itu memang aku tergila-gila denganmu. Apapun yang kamu katakan, apapun yang kamu lakukan bisa melumpuhkan setiap kekuatanku dalam berkomunikasi. Untungnya aku masih bisa membalas pandanganmu. Jika tidak, mungkin kau tak akan pernah mengerti arti tiap 'Hmm' dan 'Umm' yang kugumamkan. 

Kini embun es mulai mencair dari jemariku. Mulailah terasa tiap goresan ibu jarimu, hentakan pelan telunjukmu saat kita melangkahkan kaki, tiap gesekan kain jaketmu dengan bagian belakang tanganku. Aku mulai tak fokus dengan pembicaraan kita, tak fokus juga dengan salju tipis yang turun perlahan diatas jalanan kosong ini. Aku mulai salah tingkah diganggu tarian jari-jarimu di antara genggamanku yang mulai lembab berembun. Tarik sekarang sebelum kamu terbuai, lirih batiku. "Bagaimana caranya kita bisa masuk rumah lagi?" dengan sergap ku lontarkan kalimat sebagai pengalih perhatian saat aku menarik tanganku keluar dari kantong jaketmu. Kau bengong menatap aku yang kini sibuk memasukan tanganku kembali ke sarung tangan. Tanpa banyak tunggu kau ambil kedua tanganku, membuang sarung tangan ke lantai salju, dan mencobloskan keduanya kesaku mantelmu. Tatapan kesalmu seakan berteriak; nikmatilah waktu ini, jangan terlalu memusingkan kunci!

Kamu tau, pukul dua pagi itu, disaksikan lampu lalu lintas yang berkedip kuning, aku benar-benar jatuh hati kepadamu.

Tawamu mengembalikan aku dari dunia memori. Kau kini sibuk menonton TV, bercanda ria dengan orang asing dibalik layar kaca. Genggaman mu kini hanya kau berikan pada kotak hitam bertombol putih dan abu-abu. Tak lagi kita bicara tentang angan-angan setimentilmu. Apalagi menertawai mereka, sambil kau menarik tanganku untuk beradu gulat. Tak lagi kau menghunusku dengan tatapan kesalmu, atau menaruh rona di pipiku dengan tatapan lembutmu. Mungkin orang lain akan berkata, cintamu telah pudar buatku. Namun, aku cukup senang saat kau berdeham menghentikan tawamu, lalu menyodorkan remote TV kepadaku. Seakan berkata; nikmatilah waktu ini, jangan terlalu memusingkan masa lalu!


-- untuk Ayah dan Ibu,
Untuk cinta yang sederhana, yang memahami isi hati lebih dari aksi heboh pengutaraan cinta.
Untuk kasih yang membumi, yang menunjukan asli rasa lebih dari kembang api yang lekas padam.
Untuk sayang yang tulus, yang berhasil membawa 3 jiwa lahir dan berkembang membentuk mimpi tuk memiliki cinta yang sama. 

Terima Kasih, pernikahan kalian adalah hal terbaik yang bisa kalian berikan kepadaku.

No comments:

Post a Comment