Friday, December 26, 2014

To Relish Us



Update me
On you
On how it is living
without me

Write it nameless
I'll imagine that
it's about me
us

Then I can sleep
dreaming that you 
too 
dream of us

Friday, December 19, 2014

7/30: Surat Ngidam Coklat


Aku suka kamu seminggu dalam sebulan.

Saat bajuku menandakan pelebaran tubuh walau hanya beberapa centimeter. Saat hatiku penuh rasa sayang yang lebih panjang dari Jalan Kasih Ibu. Saat tempratur tubuhku melonjak beberapa derajat dari hari-hari biasanya. Di 7 hari itu aku merasa lebih wanita dari hari-hari yang lain, dan kamu adalah salah satu alasan kenapa aku merasa seperti itu.

Mereka bilang, wanita lebih kuat menahan sakit dari pada pria. Ini ditunjukan dari senyuman mereka saat menahan tusukan menstruasi, atau dari tawa mereka selepas banjir peluh karena melahirkan. Tapi sejujurnya, kami kuat karena kamu.

Karena kamu mampu melelehkan rasa yang lalu turun ke hati. Karena kamu berani di kotakkan, di parut, bahkan di patah-patahkan demi kebahagiaan.  Kamu tau, seharusnya bijimu bisa di kubur, dan bertumbuh hijau dan hidup. Tapi kamu merelakan di gerus, di potong-potong, di sublimkan menjadi benda yang lain. Benda yang bisa aku kangenin seminggu dalam sebulan.

Makasih ya, Cok. Kamu bikin aku waras, 7 per 30 hari.

Dari Karir untuk Leslie

Leslie, hentikan ini, gadis bodoh!

Kamu gila, ya? Dari semua cowok yang pernah singgah ke pikiran kamu, cuma yang satu ini yang berhasil mengusik kamu. Lebih dari jam-jam makan siang, tapi sampai mengantar kamu ke rebahan bantal, lalu membangunkanmu bersama matahari pagi.

Kamu inget kan, kalau kamu nggak suka kelamaan masuk kabut asmara? Kamu bahkan sempet sakit gara-gara mikirin dia! Dia bukan jenis cowok yang seharusnya bisa melakukan ini ke kamu. Kamu nggak suka cowok plin-plan. Kamu nggak suka cowok yang perasa. Kamu nggak suka cowok dengan siklus tubuh nggak keurus kaya dia. Dia bukan tipe kamu, tapi kenapa kamu bisa-bisanya terbawa suasana dan jadi mikirin dia terus?

Kamu belum hilang akal sehat, kan? Kita kan udah janji buat nggak mudah terbawa kata-kata manis. Ya, dia paling jago membual dan memutar balikan fakta lewat kalimat-kalimat minyakannya itu. Sesekali dia tampil jujur, tapi itu juga saat kalian nggak bertatap wajah! Kamu nggak pernah liat dia benar-benar menunjukan rasa sukanya ke kamu. Kamu nggak tau apa yang sebenernya dia pikirin tentang kamu.

Kamu tau kan banyak cowok yang lebih baik dari dia? Kamu tau kan kalau kamu bisa punya pilihan lain? Tapi kalau dipikiranmu itu cuma ada pacar imajinermu itu, saat pria lain datang dan menunjukan hatinya ke kamu, apakah kamu akan menyadarinya? Menyadari bahwa ada pilihan yang lebih baik?

Kamu nggak kesepian, atau di kejar waktu. Kamu bisa mengambil option apa aja. Jadi, option apa yang mau kamu pilih? Dengan dia, kamu akan menikah dalam 2 tahun, punya anak, dan mungkin kerja bareng sama dia. Kalian bisa jadi tim yang baik. Dan kamu bilang, toh, kalian suka hal-hal yang sama. Tapi… kalian punya mimpi yang sama nggak? Ah, aku lupa kalau kamu belum benar-benar yakin akan mimpi kamu sendiri.

Susah, ya? Aku disini mau mendukung kamu, Les. Aku melontarkan semua kontradiksi ini juga demi kamu. Jika kamu beneran akan jatuh hati sama dia, dan bukan sama aku, setidaknya aku tidak mau gugur tanpa bertarung. Aku nggak bisa bilang kalau aku pilihan yang lebih baik dari pada dia. Tapi kamu udah kenal aku lebih lama. Kita udah menata hidup bersama. Lama sebelum dia menerobos ruang meeting dan menyita semua perhatianmu.

Aku cuma ingin kamu berpikir jernih terutama soal cinta-cintaan ini, lalu bandingkan dengan sejuta hal lain yang bisa kamu selesaikan jika kamu tidak jatuh cinta. Itu saja. Aku hanya bisa menitip pesan lewat huruf-huruf digital. Kata-kataku pun tak bisa mengembang di udara, masuk ke telingamu, apalagi menghancurkan patung-patung berwajah pria itu di ruang imajinermu.

Leslie, akan tiba waktunya kamu harus memilih antara aku atau cowok. Nggak harus dia, pria lain pun termaksud. Saat waktu itu tiba, aku mau kamu yakin dengan pilihanmu. Alangkah baiknya jika cowok itu akan tetap mengijinkan kita bersahabat. Tapi, itu pun semua terserah kamu. Toh aku hanya kutukan buat kaum Adam, dan dambaan kaum Hawa feminis.

Sunday, July 27, 2014

Why I Return

He was sitting in the corner by the window, sipping a small cup of Cappuccino. A solemness washes over his eyes. It made the scene looked like a ceremony, an act of worship or something. His quietness fills the space around him, thickening the air, slowing time and condensing space.

The girl in the table across him has been eyeing him. She did not smile, nor giggle like the typical girl would. She looked at him with a genuine curiosity, her mind searched for imaginary reasons to why a man like that would stare so longingly to a line of trees in the distance.

Like a sudden jolt of electricity, a waiter tripped on a piece of napkin I dropped and spilled a half drank latte all over the girl's table. Her small note book is now drenched in the caffeinated liquid. In shock she stood up, and shot a bewildered look that does not match her sweet floral dress. The waiter's quick apology sent her slowly, but forgivingly back to her seat.

I did not want to ruin her book, believe me, it was not my intention. I just wanted to see if the guy break his melancholic gaze and trade it in for a more beautiful view. A view that would, maybe, lighten his heart just a touch. I mean, come on, who wouldn't be drawn in by her brown curls, the way they bounced softly as she tried to clean up the mess on her table. The way her lips curved into a weak smile as she told the waiter not to worry. The way her fingers traced back into her note book, just to check if there's not a letter washed away.

He was not distracted when the waiter lost his balance, nor did he gain an interest at the scene I arranged. However, he did take a quick glance at the girl who is now writing on a damp, coffee soaked book. His gaze was different, though. The icy, solemn gaze, melted into a shy observation. He stole another look or two, then a smile broke through the quietness of his morning. It was his first smile in weeks.

I thought he saw me. For a second prior to that smile, I thought our eyes had met. But, who am I kidding, I know he couldn't possibly see me. He has been trying to,  to no avail, every single day. That's why he sat on that table today, trying to remember the last conversation we shared before life decided to part ways from my body.

Then, from the heaviness of his heart, he rose from his seat and made his way towards the Girl. But before he reached her table, he knelt and took the napkin that began this whole situation. I swear I heard him muttered something lightly, but I couldn't make out the words. When he reached the Girl's table, he paused for what seemed like an intense 3 second for the Girl. She looked up slowly as he said, "You reminded me of someone who used to share a cup of coffee with me.." he cut the sentence with a chuckle, "but your hair is much nicer." With an air of triumph, he walked away as he threw the napkin right through my face, down to my palms and down to the floor where I stood.

At that moment, I know he is going to be fine without me.



---

Writer's note: I wrote this while listening to Warm Water by Banks.
<iframe width="560" height="315" src="//www.youtube.com/embed/hYG3iIcZOkw?rel=0" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Tuesday, June 24, 2014

Kamu Percaya Takdir?



Gita terbangun dari tidurnya. Sial, lagi-lagi AC kamar mati, dengusnya malas. Beranjaklah ia dari tempat tidurnya, membuka kaos belelnya yang kini basah dengan keringat. Sambil menatap bayangannya sendiri di cermin, ia mencoba membuyarkan ingatan mimpi yang tak kalah mengusik.

Tiba-tiba, getaran handphone Gita memecah keheningan subuh. "Randy Lasutapi" tulisnya. Keterlaluan, tidak cukup ia menyeludup ke mimpiku. Kini ia juga harus meminta perhatianku di dunia nyata.

Gita membalik layar handphonenya menghadap ke bawah. Mengganti baju dengan cepat, lalu kembali tidur. Malam itu, 3 buah bintang membentuk segaris lurus antara dua hati.

-- To be continued..

Wednesday, May 21, 2014

How Rude of You



Im trying to fit the gap that you left. Under the covers, by the pillow, the space between the wall and my body.

Could it be that you've made a secret promise with the bed, to keep me awake at night when you're not there?

Everytime my fingers traced the dent you left on the pillow, my mind raced back to you. To the way your head tilts when we talk, the way you touched my hand just to show you care, the warmth of your laugh when you caught yourself rambling.

Why did you do that? Why did you stop being here? Why can't I sleep without wishpering your name in between my Dear God and Amen? And still I can't sleep. Not tonight. Maybe not with you stuck in the what ifs.

Wednesday, April 23, 2014

Sax and Scat



"Kalau begini caranya, kapan saya bisa melupakan kamu?" dia berbisik, menyampaikan pesan ke angin dibalik jendela basah mobilnya.

Setiap kali langit jakarta bergemuruh membawa rintikan hujan, Reza hanya bisa mendengus kesal, menjatuhkan bahunya satu centi lebih dekat dengan tanah. Kelipan lampu-lampu jalanan yang tercermin di aspal basah membawanya ke masa itu.

Dulu, hujan dimalam hari adalah waktu-waktu ternyaman baginya. Dengan tenang, lelaki ini akan menyalakan CD jazz favoritnya, sambil menyenandungkan not-not miring buatannya sendiri. Seakan ia pemain saxaphone handal. Wanita cantik disampingnya akan ikut bernyanyi, "babe, it's scat" gumamnya yakin. Cuaca seperti ini membuat mereka terlihat seperti pasangan yang paling harmonis. Saling beradu melodi, saut menyaut irama.

"Keterlaluan kamu, Rez.." keluh wanita itu suatu malam. "Aku sudah menunggumu selama 3 tahun, ternyata mimpi naifmu masih saja kau kejar." Di bawah rona senja, Reza baru saja mengutarakan pikirannya yang selama ini ia pendam. Ia tahu, sudah lama ia menjanjikan pernikahan. Ia berjanji, setidaknya pada dirinya sendiri, bahwa di malam pertama ia mendapatkan tawaran bermain saxaphone di cafe manapun, ia akan melamar Dilla. Tapi, setelah 3 tahun tanpa pembahasan tentang pernikahan, Dilla lelah menunggu.

"Kau urus saja hatimu, Rez. Aku akan mengurus hatiku sendiri." Itu kata-kata terakhirnya. Tanpa pesan sampai jumpa, tanpa tengokan kebelakang. Ia berjalan keluar dari restoran, rambutnya yang panjang berkibas ke kiri dan kekanan. Reza yakin, Dilla tidak menangis malam itu. Mereka dua orang dewasa, telah mengenal pahitnya patah hati. Keputusan ini pun bisa diprediksikan sejak awal hubungan mereka. Siapa yang harus terkejut?

Nyatanya, 3 tahun kemudian, di tengah malam gerimis kota jakarta. Reza terkejut. Ini malam pertamanya bermain saxaphone di sebuah cafe kecil. Seharusnya ia menikmati kesempatan ini. Seharusnya ia bermain saxaphone dengan segenap kuatnya. Seharusnya ia meniupkan melodi-melodi miring yang selama ini hanya dimainkan untuk satu pasang telinga. Seharusnya ia tidak berhenti bermain saat bayangan Dilla muncul lagi di pikirannya.

Mungkin dia lah yang seharusnya Reza perjuangkan. Bukan musiknya, bukan impiannya. Namun kebahagiaan Dilla, hidup bersama Dilla. Ah, kini semuanya tinggal penyesalan. Reza menyalakan mesin mobilnya, dan bersiap keluar dari parkiran.

Tuk tuk tuk.. Ketukan halus terdengar dari jendelanya. "Kamu lupa mengambil bayaranmu.." suara lembut itu teredam lagu rock di radio. Reza menurunkan kaca jendelanya dan meminta wanita itu untuk mengulang kata-katanya. Namun, jari-jari lentik itu hanya menyodorkan sebuah amplop putih kearahnya. Cincin pernikahan di jari manisnya.

"Oh, minggu depan saja.. saya tidak bermain bagus malam ini," kata Reza lugas. Namun wanita itu telah berbalik arah, masuk kembali ke cafenya. Amplop itu tergeletak tenang di pangkuan Reza. Diatasnya tertulis, '3 Tahun' dengan guratan pena yang cukup familiar.

Reza menengok kebelakang. Wanita itu berjalan tegap menuju cafenya, rambut panjangnya berkibas ke kiri dan kekanan. Tangan berhiaskan cicin pernikahan itu mematikan lampu 'open' lalu mengunci pintu dimasuk dibelakangnya.

Mereka pikir, sebuah hubungan bisa berakhir dengan kata-kata, dengan persetujuan dua belah pihak. Tapi siapa yang harus terkejut, saat hati mengingat kembali rasa yang lama ia rindukan?

Saturday, March 8, 2014

Getting Over You

How recklessly did I trust you. How recklessly I jumped into your cause. Now I lie awake at night, sometimes in tears, sometimes in numbness.

Tonight I wrote the letters that I thought I've let go, but the quiver in my chest still pains me. It's incredible what your words could do to me. How they push me to the brink of my own demise.

I can't believe you've haunted all my weekends since the last time we spoke. Forgiving is easy, letting go is easy, but the wound is still healing, forgetting takes time.

Never again. Never again.