Showing posts with label cinta. Show all posts
Showing posts with label cinta. Show all posts

Monday, December 11, 2023

Siapa Yang Mengatur Hidupmu?

Aku lagi jalan turun tangga di MRT tunnel Bundaran HI saat di ujung mata aku melihat iklan besar tertempel sepanjang dinding. Dengan tulisan biru, besar dan tebal tertulis, "Jodoh udah ada yang ngatur". Pikiran ini langsung mencetus dalam nada sinis bahwa copy itu cuma 

that the person ordering all things might not look so keenly on you.

Tergantung siapa dulu yang ngatur.

Kalau yang ngatur sayang sama kamu dan mau memberikan yang terbaik buat kamu, dia akan melakukannya. Kalau sang pengatur nggak suka kamu, nggak nganggep kamu ada, ya dia nggak akan ngaturin.

Melihat situasi ku yang sekian puluh tahun selalu single, sangat mudah untuk menganggap bahwa Allah tidak peduli akan doa ku untuk ketemu seseorang yang spesial, untuk berkeluarga. Tapi dalam status sendiri ku, aku merasakan proses yang begitu lembut dari Allah.

Ia mengubah hatiku: Ia mengganti sumber sukacitaku dari imajinasi masa depan yang indah, jadi sukacita karena Allah memanggilku milikNya. Sukacita yang tidak bisa diubah kondisi, yang tak bisa diambil dari ku karena Allah sendiri yang memateraikannya dalam hidupku lewat roh kudus.

Terima kasih Tuhan Yesus, terpujilah namaMu!

Jadi semalam di tempat tidur, roh kudus mengingatkan aku untuk memandang kepada Allah dalam kebenaran-Nya. Seperti di Yesaya 26:3,  

"You will keep in perfect peace 
those whose minds are steadfast, 
because they trust in you."

Pikiran yang teguh Engkau jaga dalam damai karena mereka percaya pada Mu - kalau aku translate sendiri.

Allah seperti apa yang aku percaya? Allah yang tertulis dalam Alkitab. Allah yang telah menyatakan dirinya pada Musa di Exodus 34:6 dan menyatakan bahwa Ia adalah, "The Lord, the Lord gracious, slow to anger, and abounding in lovingkindness and truth"

Maka aku mempercayakan urusah jodoh pada Allah yang penuh kasih, sabar, penuh dengan kasih setia dan kebenaran. Pada Allah yang telah memeteraikan aku sebagai miliknya untuk selama-lamanya. Pada Allah yang telah membuktikan kasihNya dengan memberikan kehidupan sempurna-Nya buat aku yang tidak sempurna dan banyak salah.

Kalau itu saja sudah Ia lakukan buatku, apalagi yang lain-lain (Roma 8:32). Itu mudah buatNya. Aku nggak bisa gagal fokus. Terus muliakan Dia dalam pikiran dan perasaanmu, Jo.

Thursday, April 8, 2021

Silly men make good friends

Kinga Cichewicz on Unsplash



I invited a silly man into my life. He walked into my living room and rearranged the furniture like it was his. I told him to stay in his corner but he wanted to sit on the sofa by the window. 

"I like to see the view. You have a nice one here," he said as he made a cup of cocoa for himself, in my kitchen with my favorite cup. I let him be, maybe one day this whole place will be his.

"Oh no, I don't want it," he replied when I asked. "I'm just visiting."

"Oh? Then you've overstayed your visit." I took my favorite cup from his hands and ushered him out. 

He smiled and nodded. He didn't think there was anything wrong or weird about it. It was just how most visits ended anyway.

Without him the room felt much bigger but gloomier, lonelier. I guess I got used to sitting on the sofa to watch the view with a cup that wasn't my favorite. I do have a nice view.

It took a month to rearrange my living room. Not to how it was back then, no. I realize I had put too much importance on my work desk and my computer chair. It was blocking the sun in the morning. I also had neglected the phone. So I called my girlfriends, invited them over. We watched movies and talked perfumes, art, music, everything but boys.

One afternoon, I finally opened my front door. He was sitting right there, the sun shinning right behind his face. He smiled and pointed at the sunset, "you have a nice view here too."

I'll sit by him, at my doorstep and watch the sun goes down. 

He's not going in but we can chill out here. The breeze is nice, anyway. 

Maybe this is how silly men make friends or maybe I'm the silly one.

Thursday, October 12, 2017

Sepasang Mata Yang Ku Curi (1 & 2)

Pic by James Sutton


Aku jatuh cinta dengan engkau yang pandai melihat karena mata kau ada empat.

Hari itu kau lihat penjahat yang mangkir. Lihat dia berubah jadi penjilat yang mahir. Lalu opini kau yang berjilid-jilid seperti ensiklopedia mulai kau bacakan. Di sela-selanya terselip omong kosong waktu-waktu ku bisa bernapas. Lalu seperti jemu kalau tak sibuk, mata kau yang ada dua pasang itu mulai melirik ke utara, ke selatan, lalu ke timur dan ke barat. Kau lihat apa lagi, kau cerita apa lagi.

Semakin panjang saja volume buku-buku opinimu. Lagi-lagi ku buatkan kau lemari untuk menaruh bongkahan kertas-kertas itu. Beberapa ku ambil dan ku tumpuk jadi meja. Lalu tahun berikutnya, ku kumpulkan dan ku jadikan tangga. Kini kamar kau dan aku ada di ujungnya seperti kastil di atas bukit. Kau bisa melihat semakin jauh, semakin luas... Dan aku janji ganti tembok dengan buku-buku kau.

Satu malam, saat langit berawan dan bulan tertutup sinarnya, diantara esai bola dan naskah politik kau, aku curi sepasang mata kau. Ku sembunyikan dibalik tumpukan sajak Aan Mansyur. Biar bapak itu yang menjaganya. Mata kau yang kini tinggal dua menatap ke depan ke arahku. Kau bilang kau tak bisa melihat. Lalu ku kecup pelupuk matamu, kiri dan kanan. Mereka tertutup dan terus tertutup saat ku mengecup alismu yang berkerut. Saat bibirmu bergerak, dan satu cerita mulai tertulis, ku kecup bibir kau. Aku tak ingin buku tentangku. Ku kecup bibirmu sampai jemari kau bergetar. Sampai mata kau terbuka dan tajam tatapan kau pada ku.

Diatas buku-buku terbuka dan selimut kata-kata kau akhirnya berhenti membaca. Mulai merasa sampai a-b-c berserakan di lantai, lebih dalam sampai kertas bercoret menjadi bersih, sampai lebur huruf-huruf jadi tanda seru. Aku tak ingin titik dan kau berikan koma. Lalu kita berasteriks sampai tanda pagar melompat-lompat, kurung terbuka dan menutup, dan a pun berkeong. Jilid demi jilid kau janji ganti buku dengan tempat tidur.



***


Lalu apa jadinya dengan mata kau yang sepasang itu. Yang disimpan oleh tangan penuh garis milik penulis puisi tua. Mata itu bergerak, melihat ke utara, ke selatan, lalu ke timur dan ke barat. Lalu ia berhenti, ia berhenti menatap kita. Berdua di atas kasur kapuk yang sederhana, terlindung diantara tumpukan bata dan semen, yang tergoda oleh hangat tubuh kekasihnya.

Mungkin kakek itu akan meminjam mata kau. Dan ia akan menulis sajak-sajak biadab tentang kita, tentang sepasang binatang kepanasan di tengah musim kawin. Puisi itu akan dibacakan di pernikahan kita di mana para undangan akan serempak tersedak duri ikan mas. Ibuku akan pingsan dan Ayah kau akan menggeplak kepala kau. Kakek itu akan tertawa, sampai copot dua bola mata pinjamannya.

Secepat kilat kau dan aku akan berlari keluar. Tertawa kita masuk burung biru yang menerbangkan kita ke kastil kecil diujung bukit bertangga buku, tempat aku mencuri mata kau. Ku kembalikan, pertemukan lagi kedua pasang mata jadi empat. Mereka akan melihat ke utara, ke selatan, lalu ke timur dan ke barat. Bibir kau akan bercerita dan aku takkan mengecupnya. Kembali buku-buku tebal akan bertumpukan. Jilid demi jilid. Jadi lantai, jadi tembok, jadi pigura foto pernikahan kita. Tapi nanti malam, saat langit berawan dan bulan tertutup sinarnya, kau gadaikan buku-buku itu dan ganti jadi tempat tidur.

Monday, June 29, 2015

Cinta Itu Sejenis Penyakit



Ada orang yang kamu sayang sampai-sampai kamu menertawakan dirimu sendiri. Dia yang membuatmu merasa malu, mungkin-mungkin juga bodoh karena telah menjerumuskan dirimu ke perasaan yang sampai sekarang belum mau kau akui.

Ada juga yang mencoba dan mencoba dan mencoba untuk meminta sayangmu. Kamu tau dia di samping sana tertawa mendengar tawamu. Sayangnya kamu tidak akan membiarkan lidahmu menyebut namanya.

Lalu, ada orang yang menyusup ke hati kamu lewat tawa. Dia yang sebenarnya tidak bermaksud untuk menyentuh sisi lembutmu, tapi karena tawa yang berhasil mereka pancing, akhirnya kamu biarkan hatimu berharap.

Sampai saat ini kamu belum bisa menyetujui novel-novel romansa yang jadi santapan harianmu saat masa sekolah. Butterflies in my stomach, hati berbunga-bunga, pikiran melayang dan tongue tied. Lucu kata-kata yang mereka gunakan untuk menggantikan sakit perut, sesak nafas, mumet dan kebodohan sementara. 

Kalau teorimu benar, cinta lebih mirip dengan sejenis penyakit yang akan diderita semua orang. Seperti cacar air sekali seumur hidup, atau batuk pilek setiap pergantian musim. Jika ada vaksin kamu akan mengambilnya untuk mempersiapkan hatimu dari ketidakjelasan menunggu, memohon dan bermimpi. Tapi kamu paling malas pergi ke dokter, apalagi hanya untuk sekedar konsultasi dan suntikan nasehat.

Jadi kamu bertekad menjadi seorang pemberani, sampai sakitnya menjadi-jadi dan kamu merayap ke rumah sakit minta transplasi hati, atau sekedar cuci darah.

Wednesday, May 6, 2015

Si Buta yang Sok Tahu

Definisi sok itu aku
Pura-pura menjadi
Melupa padahal merindu
Jika ini tentang kita
Kamu sok buta
Menerawang walau jelas

Lihat!
Bahkan karang pun menipis
tertampar dera ombak
Bukan sok lemah,
Tapi semua orang tau
hati metafora lebih mudah
teracuni dari hati biologis

Perhatikan!
Sakit patah tulang pun
Tak bisa menyamai sakit darimu
Bukan sok kuat,
Terpikir relakan satu rusuk
Trak! Gadai sakit
Demi sesosok kesempurnaan

Tapi puisi ini pendek
Sependek penggaris 5 senti
Bukan sok kalkulatif,
Di kali tambah kurang bagi pun
Angka kita tak sama
Kenapa kita paksa naik kelas
Toh buta pun nyaman

The intended vibe to read this to:
https://soundcloud.com/trapmusic/urban-cone-come-back-to-me-ft

Friday, February 20, 2015

Buat Agus, Dari Naya



Kamu menarik bintang itu satu per satu. Entah dengan cara apa, mereka mau meninggalkan orbit untuk jatuh ke pangkuanmu. Pendar mereka seperti bara panas, namun tak menyakiti kulitku saat engkau mengutipkannya satu-satu ke belakang telingaku, ke atas jari manisku, tersisip masuk dalam kantong kananku.

Kamu memandangku seraya bertanya 'apa kamu suka?' Aku membalas dengan senyuman, karena kamu tau aku paling tak bisa berkata jika di dekatmu. Menatapmu lama pun aku tak bisa, tidak tanpa merona.

Bintang-bintang itu kini membisikan kisah rindu mereka akan rumah lama mereka. Di tengah langit gelap, disekitar putaran planet tempat tinggal dewa-dewi yang tak dikenal. Malam-malam tertentu, mereka akan menyenandungkan lagu sendu sambil tenggelam dalam bayangan andromeda. Percaya atau tidak, isakan mereka terdengar seperti lagu rinduku padamu.

Jadi, jangan marah bila saat kau melihatku lagi, bintang-bintang itu tak lagi tersisip di belakang telingaku, berpendar cantik diatas jari manisku, atau bersembunyi di dalam kantong kananku. Aku memulangkan mereka, seperti aku ingin selalu pulang ke pelukanmu.

Selamat malam gugusan bintang favoritku. Mari bertemu di titik mimpi.

Wednesday, January 28, 2015

Catatan Jomblo: Tukang Cetak Mainan



Pernah bikin cetakan resin? Ini adalah pekerjaan saya sehari-hari. Melumuti mainan-mainan plastik dari Amerika dengan lem kaca, menunggu mereka kering lalu melepaskan lapisan lem ini dengan hati-hati. Hasilnya, cetakan mainan gaya export kualitas lokal. Mungkin kamu nggak familiar dengan prosesnya, tapi kalau kamu pernah batal PDKT... ya rasanya sama kaya gitu.

Gini, waktu kamu PDKT, kamu berusaha mengenal setiap lekuk karakter 'calon' kamu. Nggak jarang perasaan juga ikut nyampur disana. Pasti lah! Orang kerjaan tiap menit adalah mengobservasi makhluk itu, mikirin cocok nggak-nya kalian. Tentu semakin lama, hati kamu bakal semakin pengen nempel ke dia. Kamu kayak lem kaca, dia mainan yang mau kamu peluk.

Semakin lama kamu berdiam mengerubungi dia, kaya lem kaca, kamu bakal mengering. Bentuk kamu akan berubah ngikutin bentuk dia, keinginan kamu akan persis dengan keinginan dia. Dan ini jadi masalah saat yang dia inginkan bukanlah kamu.

Sebuah tangan lain, tangan alien, tangan dari luar antariksamu, akan pelan-pelan ngelotokin semua bagian kamu yang nempel ke dia. Sakit awalnya, terakhirnya kosong. Kopong karena yang selama ini kamu ikuti, yang selama ini kamu jadikan inti hatimu udah hilang.

Alasan kamu untuk membentuk diri pun nggak ada artinya. Sekarang kamu mikir, gimana caranya ngilangin bentuk ini dan kembali ke bentuk awalmu? Karena sekarang rasanya itu nggak mungkin.

Friday, December 19, 2014

Dari Karir untuk Leslie

Leslie, hentikan ini, gadis bodoh!

Kamu gila, ya? Dari semua cowok yang pernah singgah ke pikiran kamu, cuma yang satu ini yang berhasil mengusik kamu. Lebih dari jam-jam makan siang, tapi sampai mengantar kamu ke rebahan bantal, lalu membangunkanmu bersama matahari pagi.

Kamu inget kan, kalau kamu nggak suka kelamaan masuk kabut asmara? Kamu bahkan sempet sakit gara-gara mikirin dia! Dia bukan jenis cowok yang seharusnya bisa melakukan ini ke kamu. Kamu nggak suka cowok plin-plan. Kamu nggak suka cowok yang perasa. Kamu nggak suka cowok dengan siklus tubuh nggak keurus kaya dia. Dia bukan tipe kamu, tapi kenapa kamu bisa-bisanya terbawa suasana dan jadi mikirin dia terus?

Kamu belum hilang akal sehat, kan? Kita kan udah janji buat nggak mudah terbawa kata-kata manis. Ya, dia paling jago membual dan memutar balikan fakta lewat kalimat-kalimat minyakannya itu. Sesekali dia tampil jujur, tapi itu juga saat kalian nggak bertatap wajah! Kamu nggak pernah liat dia benar-benar menunjukan rasa sukanya ke kamu. Kamu nggak tau apa yang sebenernya dia pikirin tentang kamu.

Kamu tau kan banyak cowok yang lebih baik dari dia? Kamu tau kan kalau kamu bisa punya pilihan lain? Tapi kalau dipikiranmu itu cuma ada pacar imajinermu itu, saat pria lain datang dan menunjukan hatinya ke kamu, apakah kamu akan menyadarinya? Menyadari bahwa ada pilihan yang lebih baik?

Kamu nggak kesepian, atau di kejar waktu. Kamu bisa mengambil option apa aja. Jadi, option apa yang mau kamu pilih? Dengan dia, kamu akan menikah dalam 2 tahun, punya anak, dan mungkin kerja bareng sama dia. Kalian bisa jadi tim yang baik. Dan kamu bilang, toh, kalian suka hal-hal yang sama. Tapi… kalian punya mimpi yang sama nggak? Ah, aku lupa kalau kamu belum benar-benar yakin akan mimpi kamu sendiri.

Susah, ya? Aku disini mau mendukung kamu, Les. Aku melontarkan semua kontradiksi ini juga demi kamu. Jika kamu beneran akan jatuh hati sama dia, dan bukan sama aku, setidaknya aku tidak mau gugur tanpa bertarung. Aku nggak bisa bilang kalau aku pilihan yang lebih baik dari pada dia. Tapi kamu udah kenal aku lebih lama. Kita udah menata hidup bersama. Lama sebelum dia menerobos ruang meeting dan menyita semua perhatianmu.

Aku cuma ingin kamu berpikir jernih terutama soal cinta-cintaan ini, lalu bandingkan dengan sejuta hal lain yang bisa kamu selesaikan jika kamu tidak jatuh cinta. Itu saja. Aku hanya bisa menitip pesan lewat huruf-huruf digital. Kata-kataku pun tak bisa mengembang di udara, masuk ke telingamu, apalagi menghancurkan patung-patung berwajah pria itu di ruang imajinermu.

Leslie, akan tiba waktunya kamu harus memilih antara aku atau cowok. Nggak harus dia, pria lain pun termaksud. Saat waktu itu tiba, aku mau kamu yakin dengan pilihanmu. Alangkah baiknya jika cowok itu akan tetap mengijinkan kita bersahabat. Tapi, itu pun semua terserah kamu. Toh aku hanya kutukan buat kaum Adam, dan dambaan kaum Hawa feminis.

Sunday, July 27, 2014

Why I Return

He was sitting in the corner by the window, sipping a small cup of Cappuccino. A solemness washes over his eyes. It made the scene looked like a ceremony, an act of worship or something. His quietness fills the space around him, thickening the air, slowing time and condensing space.

The girl in the table across him has been eyeing him. She did not smile, nor giggle like the typical girl would. She looked at him with a genuine curiosity, her mind searched for imaginary reasons to why a man like that would stare so longingly to a line of trees in the distance.

Like a sudden jolt of electricity, a waiter tripped on a piece of napkin I dropped and spilled a half drank latte all over the girl's table. Her small note book is now drenched in the caffeinated liquid. In shock she stood up, and shot a bewildered look that does not match her sweet floral dress. The waiter's quick apology sent her slowly, but forgivingly back to her seat.

I did not want to ruin her book, believe me, it was not my intention. I just wanted to see if the guy break his melancholic gaze and trade it in for a more beautiful view. A view that would, maybe, lighten his heart just a touch. I mean, come on, who wouldn't be drawn in by her brown curls, the way they bounced softly as she tried to clean up the mess on her table. The way her lips curved into a weak smile as she told the waiter not to worry. The way her fingers traced back into her note book, just to check if there's not a letter washed away.

He was not distracted when the waiter lost his balance, nor did he gain an interest at the scene I arranged. However, he did take a quick glance at the girl who is now writing on a damp, coffee soaked book. His gaze was different, though. The icy, solemn gaze, melted into a shy observation. He stole another look or two, then a smile broke through the quietness of his morning. It was his first smile in weeks.

I thought he saw me. For a second prior to that smile, I thought our eyes had met. But, who am I kidding, I know he couldn't possibly see me. He has been trying to,  to no avail, every single day. That's why he sat on that table today, trying to remember the last conversation we shared before life decided to part ways from my body.

Then, from the heaviness of his heart, he rose from his seat and made his way towards the Girl. But before he reached her table, he knelt and took the napkin that began this whole situation. I swear I heard him muttered something lightly, but I couldn't make out the words. When he reached the Girl's table, he paused for what seemed like an intense 3 second for the Girl. She looked up slowly as he said, "You reminded me of someone who used to share a cup of coffee with me.." he cut the sentence with a chuckle, "but your hair is much nicer." With an air of triumph, he walked away as he threw the napkin right through my face, down to my palms and down to the floor where I stood.

At that moment, I know he is going to be fine without me.



---

Writer's note: I wrote this while listening to Warm Water by Banks.
<iframe width="560" height="315" src="//www.youtube.com/embed/hYG3iIcZOkw?rel=0" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Wednesday, April 23, 2014

Sax and Scat



"Kalau begini caranya, kapan saya bisa melupakan kamu?" dia berbisik, menyampaikan pesan ke angin dibalik jendela basah mobilnya.

Setiap kali langit jakarta bergemuruh membawa rintikan hujan, Reza hanya bisa mendengus kesal, menjatuhkan bahunya satu centi lebih dekat dengan tanah. Kelipan lampu-lampu jalanan yang tercermin di aspal basah membawanya ke masa itu.

Dulu, hujan dimalam hari adalah waktu-waktu ternyaman baginya. Dengan tenang, lelaki ini akan menyalakan CD jazz favoritnya, sambil menyenandungkan not-not miring buatannya sendiri. Seakan ia pemain saxaphone handal. Wanita cantik disampingnya akan ikut bernyanyi, "babe, it's scat" gumamnya yakin. Cuaca seperti ini membuat mereka terlihat seperti pasangan yang paling harmonis. Saling beradu melodi, saut menyaut irama.

"Keterlaluan kamu, Rez.." keluh wanita itu suatu malam. "Aku sudah menunggumu selama 3 tahun, ternyata mimpi naifmu masih saja kau kejar." Di bawah rona senja, Reza baru saja mengutarakan pikirannya yang selama ini ia pendam. Ia tahu, sudah lama ia menjanjikan pernikahan. Ia berjanji, setidaknya pada dirinya sendiri, bahwa di malam pertama ia mendapatkan tawaran bermain saxaphone di cafe manapun, ia akan melamar Dilla. Tapi, setelah 3 tahun tanpa pembahasan tentang pernikahan, Dilla lelah menunggu.

"Kau urus saja hatimu, Rez. Aku akan mengurus hatiku sendiri." Itu kata-kata terakhirnya. Tanpa pesan sampai jumpa, tanpa tengokan kebelakang. Ia berjalan keluar dari restoran, rambutnya yang panjang berkibas ke kiri dan kekanan. Reza yakin, Dilla tidak menangis malam itu. Mereka dua orang dewasa, telah mengenal pahitnya patah hati. Keputusan ini pun bisa diprediksikan sejak awal hubungan mereka. Siapa yang harus terkejut?

Nyatanya, 3 tahun kemudian, di tengah malam gerimis kota jakarta. Reza terkejut. Ini malam pertamanya bermain saxaphone di sebuah cafe kecil. Seharusnya ia menikmati kesempatan ini. Seharusnya ia bermain saxaphone dengan segenap kuatnya. Seharusnya ia meniupkan melodi-melodi miring yang selama ini hanya dimainkan untuk satu pasang telinga. Seharusnya ia tidak berhenti bermain saat bayangan Dilla muncul lagi di pikirannya.

Mungkin dia lah yang seharusnya Reza perjuangkan. Bukan musiknya, bukan impiannya. Namun kebahagiaan Dilla, hidup bersama Dilla. Ah, kini semuanya tinggal penyesalan. Reza menyalakan mesin mobilnya, dan bersiap keluar dari parkiran.

Tuk tuk tuk.. Ketukan halus terdengar dari jendelanya. "Kamu lupa mengambil bayaranmu.." suara lembut itu teredam lagu rock di radio. Reza menurunkan kaca jendelanya dan meminta wanita itu untuk mengulang kata-katanya. Namun, jari-jari lentik itu hanya menyodorkan sebuah amplop putih kearahnya. Cincin pernikahan di jari manisnya.

"Oh, minggu depan saja.. saya tidak bermain bagus malam ini," kata Reza lugas. Namun wanita itu telah berbalik arah, masuk kembali ke cafenya. Amplop itu tergeletak tenang di pangkuan Reza. Diatasnya tertulis, '3 Tahun' dengan guratan pena yang cukup familiar.

Reza menengok kebelakang. Wanita itu berjalan tegap menuju cafenya, rambut panjangnya berkibas ke kiri dan kekanan. Tangan berhiaskan cicin pernikahan itu mematikan lampu 'open' lalu mengunci pintu dimasuk dibelakangnya.

Mereka pikir, sebuah hubungan bisa berakhir dengan kata-kata, dengan persetujuan dua belah pihak. Tapi siapa yang harus terkejut, saat hati mengingat kembali rasa yang lama ia rindukan?

Monday, December 30, 2013

Dua Puluh Lima Tahun

Rintikan hujan malam ini sukses membuatku mengingat dirimu. Inilah melodi favoritmu yang ingin kau dengar saat memejam mata, sampai membuka mata lagi. Dari semua pria yang kukenal, cuma kamu yang mahir mendramatisasi hidupmu sendiri, plus dengan penuh bangga menceritakan imajinasi-imajinasi tak penting tersebut kepadaku. Termaksud impianmu untuk terlelap di tempat tidur berkelambu, atau menari waltz di stasiun kereta tua, juga meminum cappucinno sambil mengenakan kimono sutra dan memandang matahari terbenam. Ya, semua bayangan sentimentil itu.

Tawamu yang rusuh terdengar dari ujung sofa. Entah sudah berapa lama kamu tak mengenggam tanganku hangat. Masihkah kau ingat, malam natal saat kita terjebak diluar rumah tanpa kunci? Salju sudah menebal menutup betis, dan kamu memutuskan untuk menggiring aku ke tengah jalan raya yang kosong. Setidaknya, mesin pengeruk es baru saja menipiskan lapisan salju, hingga jalanan bisa lagi dilalui mobil-mobil. Pukul dua dini hari, kita berjalan melawan kantuk, ditemani kuning temaram lampu jalanan yang dipantulkan halus oleh salju. Kau membuka sarung tanganku perlahan, lalu menarik tangan kiriku masuk kedalam saku kanan mantelmu. "Lebih hangat, kan?" tatapan lembutmu membuat pipiku merona seketika. Kau mengencangkan genggaman tanganmu dalam saku, lalu mengaitkan panas ke setiap ujung-ujung jariku. "Hmm.." adalah satu-satunya balasan yang bisa aku keluarkan. Ah, waktu itu memang aku tergila-gila denganmu. Apapun yang kamu katakan, apapun yang kamu lakukan bisa melumpuhkan setiap kekuatanku dalam berkomunikasi. Untungnya aku masih bisa membalas pandanganmu. Jika tidak, mungkin kau tak akan pernah mengerti arti tiap 'Hmm' dan 'Umm' yang kugumamkan. 

Kini embun es mulai mencair dari jemariku. Mulailah terasa tiap goresan ibu jarimu, hentakan pelan telunjukmu saat kita melangkahkan kaki, tiap gesekan kain jaketmu dengan bagian belakang tanganku. Aku mulai tak fokus dengan pembicaraan kita, tak fokus juga dengan salju tipis yang turun perlahan diatas jalanan kosong ini. Aku mulai salah tingkah diganggu tarian jari-jarimu di antara genggamanku yang mulai lembab berembun. Tarik sekarang sebelum kamu terbuai, lirih batiku. "Bagaimana caranya kita bisa masuk rumah lagi?" dengan sergap ku lontarkan kalimat sebagai pengalih perhatian saat aku menarik tanganku keluar dari kantong jaketmu. Kau bengong menatap aku yang kini sibuk memasukan tanganku kembali ke sarung tangan. Tanpa banyak tunggu kau ambil kedua tanganku, membuang sarung tangan ke lantai salju, dan mencobloskan keduanya kesaku mantelmu. Tatapan kesalmu seakan berteriak; nikmatilah waktu ini, jangan terlalu memusingkan kunci!

Kamu tau, pukul dua pagi itu, disaksikan lampu lalu lintas yang berkedip kuning, aku benar-benar jatuh hati kepadamu.

Tawamu mengembalikan aku dari dunia memori. Kau kini sibuk menonton TV, bercanda ria dengan orang asing dibalik layar kaca. Genggaman mu kini hanya kau berikan pada kotak hitam bertombol putih dan abu-abu. Tak lagi kita bicara tentang angan-angan setimentilmu. Apalagi menertawai mereka, sambil kau menarik tanganku untuk beradu gulat. Tak lagi kau menghunusku dengan tatapan kesalmu, atau menaruh rona di pipiku dengan tatapan lembutmu. Mungkin orang lain akan berkata, cintamu telah pudar buatku. Namun, aku cukup senang saat kau berdeham menghentikan tawamu, lalu menyodorkan remote TV kepadaku. Seakan berkata; nikmatilah waktu ini, jangan terlalu memusingkan masa lalu!


-- untuk Ayah dan Ibu,
Untuk cinta yang sederhana, yang memahami isi hati lebih dari aksi heboh pengutaraan cinta.
Untuk kasih yang membumi, yang menunjukan asli rasa lebih dari kembang api yang lekas padam.
Untuk sayang yang tulus, yang berhasil membawa 3 jiwa lahir dan berkembang membentuk mimpi tuk memiliki cinta yang sama. 

Terima Kasih, pernikahan kalian adalah hal terbaik yang bisa kalian berikan kepadaku.