Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts
Wednesday, April 23, 2014
Sax and Scat
"Kalau begini caranya, kapan saya bisa melupakan kamu?" dia berbisik, menyampaikan pesan ke angin dibalik jendela basah mobilnya.
Setiap kali langit jakarta bergemuruh membawa rintikan hujan, Reza hanya bisa mendengus kesal, menjatuhkan bahunya satu centi lebih dekat dengan tanah. Kelipan lampu-lampu jalanan yang tercermin di aspal basah membawanya ke masa itu.
Dulu, hujan dimalam hari adalah waktu-waktu ternyaman baginya. Dengan tenang, lelaki ini akan menyalakan CD jazz favoritnya, sambil menyenandungkan not-not miring buatannya sendiri. Seakan ia pemain saxaphone handal. Wanita cantik disampingnya akan ikut bernyanyi, "babe, it's scat" gumamnya yakin. Cuaca seperti ini membuat mereka terlihat seperti pasangan yang paling harmonis. Saling beradu melodi, saut menyaut irama.
"Keterlaluan kamu, Rez.." keluh wanita itu suatu malam. "Aku sudah menunggumu selama 3 tahun, ternyata mimpi naifmu masih saja kau kejar." Di bawah rona senja, Reza baru saja mengutarakan pikirannya yang selama ini ia pendam. Ia tahu, sudah lama ia menjanjikan pernikahan. Ia berjanji, setidaknya pada dirinya sendiri, bahwa di malam pertama ia mendapatkan tawaran bermain saxaphone di cafe manapun, ia akan melamar Dilla. Tapi, setelah 3 tahun tanpa pembahasan tentang pernikahan, Dilla lelah menunggu.
"Kau urus saja hatimu, Rez. Aku akan mengurus hatiku sendiri." Itu kata-kata terakhirnya. Tanpa pesan sampai jumpa, tanpa tengokan kebelakang. Ia berjalan keluar dari restoran, rambutnya yang panjang berkibas ke kiri dan kekanan. Reza yakin, Dilla tidak menangis malam itu. Mereka dua orang dewasa, telah mengenal pahitnya patah hati. Keputusan ini pun bisa diprediksikan sejak awal hubungan mereka. Siapa yang harus terkejut?
Nyatanya, 3 tahun kemudian, di tengah malam gerimis kota jakarta. Reza terkejut. Ini malam pertamanya bermain saxaphone di sebuah cafe kecil. Seharusnya ia menikmati kesempatan ini. Seharusnya ia bermain saxaphone dengan segenap kuatnya. Seharusnya ia meniupkan melodi-melodi miring yang selama ini hanya dimainkan untuk satu pasang telinga. Seharusnya ia tidak berhenti bermain saat bayangan Dilla muncul lagi di pikirannya.
Mungkin dia lah yang seharusnya Reza perjuangkan. Bukan musiknya, bukan impiannya. Namun kebahagiaan Dilla, hidup bersama Dilla. Ah, kini semuanya tinggal penyesalan. Reza menyalakan mesin mobilnya, dan bersiap keluar dari parkiran.
Tuk tuk tuk.. Ketukan halus terdengar dari jendelanya. "Kamu lupa mengambil bayaranmu.." suara lembut itu teredam lagu rock di radio. Reza menurunkan kaca jendelanya dan meminta wanita itu untuk mengulang kata-katanya. Namun, jari-jari lentik itu hanya menyodorkan sebuah amplop putih kearahnya. Cincin pernikahan di jari manisnya.
"Oh, minggu depan saja.. saya tidak bermain bagus malam ini," kata Reza lugas. Namun wanita itu telah berbalik arah, masuk kembali ke cafenya. Amplop itu tergeletak tenang di pangkuan Reza. Diatasnya tertulis, '3 Tahun' dengan guratan pena yang cukup familiar.
Reza menengok kebelakang. Wanita itu berjalan tegap menuju cafenya, rambut panjangnya berkibas ke kiri dan kekanan. Tangan berhiaskan cicin pernikahan itu mematikan lampu 'open' lalu mengunci pintu dimasuk dibelakangnya.
Mereka pikir, sebuah hubungan bisa berakhir dengan kata-kata, dengan persetujuan dua belah pihak. Tapi siapa yang harus terkejut, saat hati mengingat kembali rasa yang lama ia rindukan?
Monday, December 30, 2013
Dua Puluh Lima Tahun
Rintikan hujan malam ini sukses membuatku mengingat dirimu. Inilah melodi favoritmu yang ingin kau dengar saat memejam mata, sampai membuka mata lagi. Dari semua pria yang kukenal, cuma kamu yang mahir mendramatisasi hidupmu sendiri, plus dengan penuh bangga menceritakan imajinasi-imajinasi tak penting tersebut kepadaku. Termaksud impianmu untuk terlelap di tempat tidur berkelambu, atau menari waltz di stasiun kereta tua, juga meminum cappucinno sambil mengenakan kimono sutra dan memandang matahari terbenam. Ya, semua bayangan sentimentil itu.
Tawamu yang rusuh terdengar dari ujung sofa. Entah sudah berapa lama kamu tak mengenggam tanganku hangat. Masihkah kau ingat, malam natal saat kita terjebak diluar rumah tanpa kunci? Salju sudah menebal menutup betis, dan kamu memutuskan untuk menggiring aku ke tengah jalan raya yang kosong. Setidaknya, mesin pengeruk es baru saja menipiskan lapisan salju, hingga jalanan bisa lagi dilalui mobil-mobil. Pukul dua dini hari, kita berjalan melawan kantuk, ditemani kuning temaram lampu jalanan yang dipantulkan halus oleh salju. Kau membuka sarung tanganku perlahan, lalu menarik tangan kiriku masuk kedalam saku kanan mantelmu. "Lebih hangat, kan?" tatapan lembutmu membuat pipiku merona seketika. Kau mengencangkan genggaman tanganmu dalam saku, lalu mengaitkan panas ke setiap ujung-ujung jariku. "Hmm.." adalah satu-satunya balasan yang bisa aku keluarkan. Ah, waktu itu memang aku tergila-gila denganmu. Apapun yang kamu katakan, apapun yang kamu lakukan bisa melumpuhkan setiap kekuatanku dalam berkomunikasi. Untungnya aku masih bisa membalas pandanganmu. Jika tidak, mungkin kau tak akan pernah mengerti arti tiap 'Hmm' dan 'Umm' yang kugumamkan.
Kini embun es mulai mencair dari jemariku. Mulailah terasa tiap goresan ibu jarimu, hentakan pelan telunjukmu saat kita melangkahkan kaki, tiap gesekan kain jaketmu dengan bagian belakang tanganku. Aku mulai tak fokus dengan pembicaraan kita, tak fokus juga dengan salju tipis yang turun perlahan diatas jalanan kosong ini. Aku mulai salah tingkah diganggu tarian jari-jarimu di antara genggamanku yang mulai lembab berembun. Tarik sekarang sebelum kamu terbuai, lirih batiku. "Bagaimana caranya kita bisa masuk rumah lagi?" dengan sergap ku lontarkan kalimat sebagai pengalih perhatian saat aku menarik tanganku keluar dari kantong jaketmu. Kau bengong menatap aku yang kini sibuk memasukan tanganku kembali ke sarung tangan. Tanpa banyak tunggu kau ambil kedua tanganku, membuang sarung tangan ke lantai salju, dan mencobloskan keduanya kesaku mantelmu. Tatapan kesalmu seakan berteriak; nikmatilah waktu ini, jangan terlalu memusingkan kunci!
Kamu tau, pukul dua pagi itu, disaksikan lampu lalu lintas yang berkedip kuning, aku benar-benar jatuh hati kepadamu.
Tawamu mengembalikan aku dari dunia memori. Kau kini sibuk menonton TV, bercanda ria dengan orang asing dibalik layar kaca. Genggaman mu kini hanya kau berikan pada kotak hitam bertombol putih dan abu-abu. Tak lagi kita bicara tentang angan-angan setimentilmu. Apalagi menertawai mereka, sambil kau menarik tanganku untuk beradu gulat. Tak lagi kau menghunusku dengan tatapan kesalmu, atau menaruh rona di pipiku dengan tatapan lembutmu. Mungkin orang lain akan berkata, cintamu telah pudar buatku. Namun, aku cukup senang saat kau berdeham menghentikan tawamu, lalu menyodorkan remote TV kepadaku. Seakan berkata; nikmatilah waktu ini, jangan terlalu memusingkan masa lalu!
-- untuk Ayah dan Ibu,
Untuk cinta yang sederhana, yang memahami isi hati lebih dari aksi heboh pengutaraan cinta.
Untuk kasih yang membumi, yang menunjukan asli rasa lebih dari kembang api yang lekas padam.
Untuk sayang yang tulus, yang berhasil membawa 3 jiwa lahir dan berkembang membentuk mimpi tuk memiliki cinta yang sama.
Terima Kasih, pernikahan kalian adalah hal terbaik yang bisa kalian berikan kepadaku.
Subscribe to:
Posts (Atom)